cuap-cuap

judul blog ini adalah はなばたけ (hanabatake) yang artinya 'kebun bunga'. dalam bahasa indonesia, kata 'kebun bunga' bisa jadi kalimat ambigu (arti ganda). bisa 'kebun yang banyak bunganya' atau 'kebun punya si Bunga'.untuk sementara kayaknya arti yang kedua lebih nyerempet yah ... tapi ... harapan arum ke depan sih akan ada banyak 'bunga' tumbuh di sini ... ^^Mohon maaf masalah format bahasa ... lagi sok-sok an pake bahasa Jepang ... Niat mo ganti tanggal doank malah semua ikut keganti...(maklum pemula). tapi setelah diliat hasilnya kok ya keren juga ... (nora lagi).ほんとうに ごめん なさい。Hontou ni gomen nasai.

月曜日, 3月 30, 0021

... faith ...

Ia sudah menjadi penggemar serial Harry Potter sejak kelas tiga SMP. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, dengan sabar ia kumpulkan seri demi seri buku Harry Potter. Ia mendapatkan buku pertama dan kedua sekaligus sebagai hasil rengekan penasaran. Tahun berikutnya ia mendapatkan yang ketiga, sebulan setelah ulang tahunnya yang ke lima belas.

Sejak hari itu, ia menyisakan tempat di rak bukunya untuk sisa serial Harry Potter yang dipastikan sampai buku ketujuh. Ia yakin pasti akan punya semuanya. Entah dari mana atau kapan ia akan bisa melengkapi koleksinya.

Ia menutup telinga terhadap segala bentuk protes terhadap serial tersebut. Sebab ia melihat sesuatu yang lain di balik kedok ‘sihir’ yang digunakan sang pengarang. Persahabatan, cinta, kehidupan, kematian, kesetiaan, kekeluargaan, kejujuran, dan masih banyak hal lain yang ia temukan dalam cerita Harry Potter. Petuah yang berbunyi, “jangan menilai buku dari sampulnya” berlaku nyata untuk buku tersebut.

Satu bulan menjelang ulang tahunnya yang ke dua puluh. Beberapa jam setelah peluncuran jilid terakhir, Harry Potter and the Deathly Hallow. Ia pun bertekad harus mendapatkan buku itu. Meskipun harus menunggu setahun lagi, ia rela. Sebab baginya, isi sebuah buku tidak mengenal istilah ‘basi’. Buku berusia seratus tahun pun masih bisa dinikmati manfaatnya.

Namun ia juga menyadari keadaan ekonomi keluarganya yang saat ini sedang tidak memungkinkan untuk ditagih sebuah hadiah ulang tahun. Maka ia memutuskan untuk mengumpulkan sisa uang jajan bulanannya, yang selama satu setengah tahun ini keseringan kurangnya dari pada bersisa. Tapi ia sudah menetapkan targetnya. Akhir bulan Mei, setelah ujian akhir semester dan berjalan lima bulan dari sekarang, ia akan mendapatkan buku yang ia inginkan. Imbalan yang pantas untuk kerja keras dan pengorbanan selama satu semester.

Kepada orang tuanya, terutama sang ayah yang mendukung minat bacanya dengan sepenuh hati, ia utarakan keinginannya. Ia juga menyertai dengan permintaan, apabila pada saatnya uang yang dikumpulkannya tidak cukup juga, agar ayahnya mau menambah kekurangannya. Sang ayah melihat usaha niat baiknya dan menyanggupi permintaannya.

...

Ia sangat tertarik pada budaya Jepang sejak sepupunya memperkenalkannya pada sebuah band ternama asal Negeri Sakura itu. Akhirnya ia merasa memiliki tujuan hidup yang jelas. Akhirnya ia tahu jurusan apa yang akan ia ambil di universitas entah apa nanti.

Ia menyatakan keinginannya pada keluarga dan semua orang yang menanyakan tujuan pendidikannya selanjutnya. Dengan tegas ia katakan ia ingin mempelajari Bahasa Jepang. Ia merasa nyaman dalam bidang bahasa.

Keluarga besarnya memuji minatnya. Terutama ayahnya yang selalu berpikiran terbuka dan berkata, “nggak ada satu disiplin ilmu pun yang nggak ada gunanya”. Kata-kata tersebut menghilangkan keragu-raguannya untuk terus bercengkrama dalam bidang bahasa. Ia tidak peduli anggapan orang lain yang memandang sebelah mata jurusan bahasa.

Kemudian ia mulai mempelajari huruf kana sejak kelas dua SMA. Ia mulai mendengarkan siaran radio yang memutar lagu-lagu Jepang. Membeli berbagai buku pengantar Bahasa Jepang pemula. Belajar lebih giat untuk ujian masuk universitas karena ia benar-benar menginginkan pengetahuan lebih banyak tentang Bahasa Jepang.

Tidak tanggung-tanggung, ia mendaftar di tiga universitas untuk jurusan yang sama.

...

Seperti semua siswa SMA lainnya, ia pun merasa bingung memilih universitas. Tetapi tidak seperti semua anak lain, ia harus menyesuaikan dengan jurusan pilihannya, kualitas universitas, dan juga kemampuan keluarganya membiayai pendidikannya selama kuliah.

Ia adalah anak pertama dalam keluarganya dan kedua orang tuanya tidak meneruskan pendidikan selepas dari SAA. Ia tidak pernah tahu banyak tentang kualitas berbagai sekolah tinggi. Ia bahkan baru mengetahui perbedaan antara universitas, institut, dan akademi pada tahun ketiganya di SMA. Ia sering mendengar orang memuji Universitas Indonesia beserta mahasiswa dan lulusannya. Namun tidak pernah mengambil pusing kenapa atau mencari tahu lebih banyak tentangnya.

Sebagai referensi pilihannya menentukan sekolah, orang tuanya mengajaknya mengunjungi UI. Ia terpesona dengan segala ke-eksklusifan yang dimiliki universitas tersebut. Entah bagaimana, ia merasa akan segera menjadi bagian darinya. Memandangi sekitarnya dari dalam mobil, ia bahkan sudah merasa bangga menjadi bagian dari lingkungan tersebut bahkan sebelum ikut ujian masuk.

...

Keluarganya pecinta musik. Ayahnya seorang pemusik. Ia merasakan musik dalam dirinya. Menginginkannya selalu ada di dalam kepalanya. Terlebih karena baginya musik mencirikan kepribadian seseorang.

Teknologi menjawab keinginannya. Diluncurkan banyak handphone musik. Salah satunya adalah SE W300i yang sangat diidam-idamkannya. Ia kerap kali membayangkan, betapa menyenangkan hari-harinya apabila dapat menikmati musik kapan saja di mana saja. Ia hanya cukup mengantongi satu benda dan segalanya ada di sana.

Orang tuanya berkata, kali berikutnya ada rezeki adalah gilirannya mengganti hape. Sejak saat itu ia mulai meneliti berbagai jenis hape musik. Mulai dari merek sampai harganya. Meskipun ia sangat menginginkan W300i, ia tidak pernah sampai hati mengungkapkannya.

Hingga pada satu siang sebelum kuliah, ia memutuskan ketika pulang nanti akan mengatakan pada ayahnya bahwa ia menginginkan satu tipe Z dari Sony Ericsson. Karena harganya lebih murah, pilihan warnanya lebih banyak, dan meskipun bukan music phone, yang penting masih bisa untuk memutar MP3. Ia juga berniat akan memintanya sebagai hadiah kelulusan semester pada bulan Juli nanti.

...

Ia diterima di dua universitas pilihannya untuk jurusan Bahasa Jepang. Tetapi perjuangannya belum selesai. Ia masih ingin masuk UI. Maka atas saran keluarga ia mendaftar program diploma untuk jurusan yang sama, Bahasa Jepang.

Pengumuman SPMB keluar dan ia tidak lolos. Namun ia yakin akan kuliah di UI. Beberapa minggu kemudian, pengumuman program diploma keluar. Meskipun ia juga deg-degan seperti halnya ibunya, ketika berdua membuka daftar siswa yang lolos ujian masuk program diploma. Ia yakin namanya akan ada di dalam daftar.

Memang demikian, namanya tertera di sana. Ia terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Indonesia sejak saat itu. Di jurusan yang juga diinginkannya, Bahasa Jepang.

...

Sore itu di kampusnya ada acara Gelar Jepang. Ia pulang terlambat. Tertundalah niatnya memberitahukan pada ayahnya jenis hape yang diinginkannya.

Pukul delapan malam ia sedang menikmati makan malam dengan pacarnya, ketika adiknya, Bias mengiriminya SMS yang menanyakan kapan ia pulang. Karena hape barunya sudah menunggu di rumah. Ketika ia menelepon adiknya dan menanyakan perihal berita tersebut, Bias membenarkan bahwa itu bukan candaan. Ia bertanya hape apa yang dibelikan ayahnya, dan Bias menjawab, W300i.

Ketika ia tiba di rumah, ayahnya sudah tidur. Ia tidak ingin membangunkan ayahnya hanya karena ingin melihat hape baru. Keesokan harinya, pukul setengah tujuh pagi sebelum berangkat kerja, ayahnya membangunkannya dan meletakkan kardus hape barunya di dekat kepalanya.

...

Dua belas jam lagi usianya genap dua puluh tahun. Hari itu adalah Senin minggu kedua semester baru dimulai. Ia sedang duduk di peron Bogor Stasiun Duren Kalibata, menanti kereta ekonomi yang menjadi transportasinya menuju kampus. Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya, membaca buku Harry Potter and the Deathly Hallow.

Susah payah ia menahan perasaan gemasnya. Bahwa ia juga ingin memiliki buku itu. Ingin tahu apa yang diceritakan buku itu. Ingin menyentuhnya, membukanya, mencium aroma kertasnya, menandatangani halaman depannya dengan namanya. Tetapi ia tetap sabar. Ditegaskannya dalam hatinya, tidak lama lagi ia akan punya buku yang sama.

Dalam perjalanan menuju kelas ia berpapasan dengan banyak mahasiswa. Namun dari sekian banyak, ia juga berpapasan dengan seorang mahasiswa membawa buku Harry Potter and the Deathly Hallow. Dalam waktu kurang dari sejam ia melihat dua orang berbeda membawa buku yang amat diinginkannya. Sekali lagi ia tegaskan hatinya, kelak ia pun akan membawa buku itu ke kampus.

Kemudian ia tiba di kelas, belajar seperti biasanya, dan melupakan kejadian siang itu.

Menjelang makan malam, ia sedang duduk di depan teve bersiap menikmati makan malam ketika tiba-tiba ayahnya menyodorkan buku Harry Potter and the Deathly Hallow padanya sambil berkata.

“Nih, buat kamu. Hadiah dari Bapak, Ibu, sama Bias. Selamat ulang tahun, ya.”

Ia terkejut bukan main. Ia hanya bisa terbengong tak percaya menatap buku di tangan ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Ulang tahunnya kan besok,” ujarnya sambil masih menatap buku itu tidak percaya.

“Nggak apa-apa.”

“Ini beneran buat aku?” tanyanya masih tak percaya ia boleh memilikinya.

“Buat kamu,” tegas ayahnya.

“Makasih....”

Ia menerima bukunya dengan haru. Pada halaman pertama terselip sebuah kertas print komputer berisikan ucapan selamat dan doa dari keluarganya, dibubuhi tanda tangan ayah, ibu, dan adiknya. Kertas itu ia tempelkan di balik cover buku. Pada halaman judul tidak lupa ia tuliskan bahwa buku itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh dari keluarganya.

... ...

0 件のコメント: